G30S/PKI
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S
PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok
(Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam
tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan
kepada anggota Partai Komunis
Indonesia.
Latar belakang
Perayaan
Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di
seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965
anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta
anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta
anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno
menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan
penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi
Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin"
Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi
antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah
politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000
pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan
kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI
akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri
terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini
lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan
"Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan
semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan
polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI
yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah
siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi
Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar
dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita
perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh
Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama
jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para
petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong
ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan
bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan
Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah
angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja
dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak
berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara
sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit
parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan
kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit
tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan
merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani
yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun
undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga
menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga
dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua
tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain
juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam
kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
Peristiwa G30S/PKI
Sumur
Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam
jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada
para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965
muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan
adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan
berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk
diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan
jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi
dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama
duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya
dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut
sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita"
yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen
Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya
seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif
Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa
dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel
Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling
diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah
dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA.
Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G.
Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian
Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of
State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger
Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September
30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim
(Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban G30S/PKI
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI
Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf
Komando Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI
Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI
Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan
dan Pembinaan)
- Mayjen TNI
Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen
TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI
Sutoyo
Siswomiharjo
(Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
- Bripka Karel
Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran
utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan
pada 3 Oktober.
Pasca kejadian G30S/PKI
Pemakaman
para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Literatur
propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan
menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu
menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30
September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal”
yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya
“Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan
pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan
Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada
sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak
berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris
jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan
para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI
segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk
mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan
bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin
Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus
untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato
anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik
Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat
presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah.
“
|
Saya
perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan
dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia
yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri
di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali
berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip
Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada
negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas
Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto,
sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan
sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
|
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966,
perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari
pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai
PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan
pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal
11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari
Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas
Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir
usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan dan pembantaian PKI

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok
pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya
menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu
"terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta
anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua
anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling
sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin,
pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden
khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat
di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang
separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka
rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk
membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota
besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok
sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih
dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang,
termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar
Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati
hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Peringatan G30S/PKI

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI
mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan
terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara
yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun
tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia,
acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain
Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah
O
O ORDE BARU
1. Lahirnya Orde Baru
Akibat adanya pemberontakan Gerakan 30
September timbullah reaksi dari berbagai Parpol,Ormas,Mahasiswa dan
kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai politik seperti IPTKI, NU,
Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa lainnya melakukan apel kebulatan
tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut pembubaran PKI serta
ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang anti komunis membentuk
Front Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia ), KAPI ( Ksatuan Aksi Pelajar Indonesia ), dan lain-lain. Pada
tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan
PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari unsur PKI,dan turunkan
harga-harga”
2. Kebijakan Politik Orde Baru
Rezim Orde Baru memiliki kekuasaan penuh
mengendalikan kehidupan politik masa itu. Kebijakan politik yang diterapkan
dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal lahirnya Orde Baru. Pemberangusan
hak-hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan keluarganya, merupakan salah satu
kebijakan yang mengundang kontroversi dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru
memberikan kesempatan politik hanya kepada golongan tertentu saja. Menjelang
dilaksanakannya pemilu pada tahun 197, jumlah partai yang menjadi peserta,
tidak sebanyak partai politik di tahun 1955. Dari hasil pemilu tersebut para
wakil-wakil partai menduduki 360 kursi ditambah 100 kursi lagi yang
anggota-anggotanya diangkat oleh Presiden sehingga anggota DPR berjumlah 460
orang. Dari susunan kursi DPR yang semacam ini maka DPR selalu mendukung
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk pemiliu-pemilu selanjutnya
tahun
1977,1982,1987,1992, hingga 1997 pemerintah menyederhanakan jumlah partai
politik yang ada. Hal ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang nomor 3 tahun
1975 . Partai Persatuan Pembangunan merupakan fusi dari partai-partai islam
seperti NU, Parmusi, PSSI, dan PERTI. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia
adalah fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo, hanya
Golkar yang tidak mempunyai fusi partai manapun.
3. Menguatnya Peran Negara dan Dampaknya
Pemegang
pemerintahan di Orde Baru adalah kalangan militer. Kekuasaan sentralistik yang
digunakan oleh pemerintah Orde Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir
pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan militer hampir di seluruh bidang pembangunan.
Pada akhir tahu 90-an dengan runtuhnya
rezim Orde Baru dan seiring dengan era reformasi terbuka kesempatan bagi rakyat
untuk menentanng kekuasaan yang otoriter itu . operasi militer mengerikan yang
selam 10 tahun tertutup rapat dari pengetahuan publikpun terbongkar. Presiden
Soeharto dan rezimnya menyadari bahwa, kemenangan mereka dapat tercapai antara
lain berkat dukungan tokoh-tokoh islam termasuk ormas-ormasnya simpatisan
masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan dari tokoh-tokoh masyumi yang baru bebas
dari tahanan rezim Orde Lama, untuk merehabilitasi partainya, Soeharto tegas
menolak dengan alasan ”yuridis, ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan
Soeharto dengan nada yang agak marah, mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan
dan akan menindak setiap usaha eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud
kegiatan politik yang tidak pada tempatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Orde
Baru yang didominasi militer tidak menyukai kebangkitan politik islam.
4. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah
Orde Baru selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap
tekad awalnyamuncul Orde Baru. Pada awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan bermasyarakat,
berbangsa, dan bertanah air. Latar belakang munculnya tuntutan Soeharto agar
mundur dari jabatannya atau yang menjadi titik awal berakhirnya Orde Baru.
- Adanya krisis politik di
mana setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas.
Pemerintah yang didukung Golkar berusaha memepertahankan kemenangan mutlak yang
telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP begitupun PDI ataupun Golkar
dianggapa tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik masyarakat.
- Adanya krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Sebenarnya krisis
ini juga terjadi dibeberapa negara di Asia
namun Indonesialah yang merasakan dampak yang paling buruk. Hal ini disebabkan
karena pondasi perekonomian Indonesia rapuh, praktik KKN, dan monopoli ekonomi
mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia.
·
Adanya
krisis Sosial, bersamaan dengan krisis ekonomi kekerasan di masyarakat semakin
meningkat. Melonjaknya angka pengangguran. Kesenjangan ekonomi menyebabkan kecemburuan
sosial di tengah masyarakat. Gerakan moral dalam aksi damai menuntut reformasi
mulai ditunggangi berbagai kepentingan individu dan kelompok.
·
Pelaksanaan
hukum di masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya kekuasaan
kehakiman yang dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilik
kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan. Namun pada
kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kronologi
jatuhnya pemerintahan Orde Baru berawal dari terpilihnya kembali Soeharto
sebagai presiden melalui sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11
Maret 1998, ternyata tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya
pemulihan kondisi ekonomi bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan gelombang
aksi mahasiswa silih berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi.
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam
melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar
bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik
infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan ekonomi maupun
infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental ( character
building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun
pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun
1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi
penguasa, aparat dan penguasa
REFORMASI
Faktor
Penyebab Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi
pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di
bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada
tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan
semestinya akan menimbulkan permasalahan
politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada
di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para
penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de
jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai
wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan
seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi
pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya
gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total
di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan
nuansa KKN
Gerakan
reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket
undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya
:
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang
Pemilihan Umum
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang
Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
- UU No. 3 Tahun 1985 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
- UU No. 5 Tahun 1985 tentang
Referendum
- UU No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Massa.
Perkembangan
ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi
yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi,
tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya
peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat
terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis
politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya
menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya
reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di
dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada
pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap
setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu,
masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan
Presiden.
Terjadinya ketegangan politik menjelang
pemilihan umum tahun 1997 telah memicu
10
munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar
agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun
1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan
kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi
dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang
Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh
para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali
pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam
Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada
kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan
intelektual.
2. Krisis Hukum
Pelaksanaan
hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak
munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah
hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya
reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada
kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
3. Krisis Ekonomi
Krisi moneter yang melanda Negara-negara di
Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi
krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah,
maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis
yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan
yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu
untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak
dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin
bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis
moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah
menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi
yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Utang
Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor
penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak
sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta.
Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462
miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar
Amerika Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar
negeri
terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh
keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi
dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah
Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara
industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih
rendah.
Sementara
itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh
menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945
tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya,
sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli,
oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis.
Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di
Jakarta.
Pelaksanaan
politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat
dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah
pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers
yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta
selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang
kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita
yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang
memberitakan itu pers daerah.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa
bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos
Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi
Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan
masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak
demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan
dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak
disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung
DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para
pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih
untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi
total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar
presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko
sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden
mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet,
segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai
Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan
Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal
21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai
Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh
Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana.
0 komentar:
Posting Komentar